Pondok Pesantren Harus Berubah

Peran pesantren dewasa ini telah banyak disudutkan. Mulai dari serba ketinggalan hingga pencetak teroris. Keadaan ini seharusnya diperhatikan secara mendalam oleh umat dan khusus oleh para pengasuh pesantren. Yang dimana kondisi saat ini perlu dengan kreativitas dalam mendidik atau biasa disebut sebagai fiqh da’wah dalam istilah pesantren. Tujuannya pesantren tersebut harus ideal agar tidak mudah diselewengkan citranya serta dianggap kuno. Dan dalam banyak hal telah disebutkan tentang perpaduan antara perkembangan ilmu pengetahuan dan ilmu agama. Di sinilah letak permasalahan semua pondok pesantren, yaitu menentukan kurikulum yang tepat.

DINAMIKA KURIKULUM PESANTREN

Kurikulum merupakan salah satu instrumen dari suatu lembaga pendidikan, termasuk pendidikan pesantren. Untuk mendapatkan gambaran tentang pengertian kurikulum, akan disinggung terlebih dahulu definisi tentang kurikulum. Menurut Iskandar Wiryokusumo, kurikulum adalah Program pendidikan yang disediakan sekolah untuk siswaâ. Sementara itu, menurut S. Nasution, kurikulum adalah Suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses belajar-mengajar di bawah bimbingan dan tanggung-jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnyaâ.

Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa kurikulum pada dasarnya merupakan seperangkat perencanaan dan media untuk mengantarkan lembaga pendidikan untuk mewujudkan lembaga pendidikan yang diidamkan. Pesantren dalam kelembagaannya, mulai mengembangkan diri dengan jenis dan corak pendidikannya yang bermacam-macam. Pesantren besar, pesantren Tebuireng Jombang, misalnya, di dalamnya telah berkembang madrasah, sekolah umum, sampai perguruan tinggi yang dalam proses pencapaian tujuan institusional selalu menggunakan kurikulum. Tetapi, pesantren yang mengikuti pola salafi (tradisional), mungkin kurikulum belum dirumuskan secara baik.

Kurikulum pesantren salaf yang statusnya sebagai lembaga pendidikan non-formal hanya mempelajari kitab-kitab klasik yang meliputi: Tauhid, Tafsir, Hadits, Fiqh, Ushul Fiqh, Tasawwuf, Bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, Balaghah dan Tajwid), Mantiq dan Akhlak. Pelaksanaan kurikulum pendidikan pesantren ini berdasarkan kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab. Jadi, ada tingkat awal, menengah dan tingkat lanjutan.

Gambaran naskah agama yang harus dibaca dan dipelajari oleh santri, menurut Zamakhsyari Dhofier mencakup kelompok Nahwu dan Sharaf, Ushul Fiqh, Hadits, Tafsir, Tauhid, Tasawwuf, cabang-cabang yang lain seperti Tarikh dan Balaghahâ. Itulah gambaran sekilas isi kurikulum pesantren tentang salaf, yang umumnya keilmuan Islam digali dari kitab-kitab klasik, dan pemberian keterampilan yang bersifat pragmatis dan sederhana.

Adapun karakteristik kurikulum yang ada pada pondok pesantren modern, mulai diadaptasikan dengan kurikulum pendidikan Islam yang disponsori oleh Departemen Agama melalui sekolah formal (madrasah). Kurikulum khusus pesantren dialokasikan dalam muatan lokal atau diterapkan melalui kebijaksanaan sendiri. Gambaran kurikulum lainnya adalah pada pembagian waktu belajar, yaitu mereka belajar keilmuan sesuai dengan kurikulum yang ada di perguruan tinggi (sekolah) pada waktu-waktu kuliah. Waktu selebihnya dengan jam pelajaran yang padat dari pagi sampai malam untuk mengkaji ilmu Islam khas pesantren (pengajian kitab klasik).

Fenomena pesantren sekarang yang mengadopsi pengetahuan umum untuk para santrinya, tetapi masih tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik merupakan upaya untuk meneruskan tujuan utama lembaga pendidikan tersebut, yaitu pendidikan calon ulama yang setia kepada paham Islam tradisional.

Kurikulum pendidikan pesantren modern merupakan perpaduan antara pesantren salaf dan sekolah (perguruan tinggi), diharapkan akan mampu memunculkan output pesantren berkualitas yang tercermin dalam sikap aspiratif, progresif dan tidak ortodoks sehingga santri bisa secara cepat beradaptasi dalam setiap bentuk perubahan peradaban dan bisa diterima dengan baik oleh masyarakat karena mereka bukan golongan eksklusif dan memiliki kemampuan yang siap pakai.

Mencermati hal di atas, bentuk pendidikan pesantren yang hanya mendasarkan pada kurikulum salaf dan mempunyai ketergantungan yang berlebihan pada Kiai tampaknya merupakan persoalan tersendiri, jika dikaitkan dengan tuntutan perubahan jaman yang senantiasa melaju dengan cepat ini.

Bentuk pesantren yang demikian akan mengarah pada pemahaman Islam yang parsial karena Islam hanya dipahami dengan pendekatan normatif semata. Belum lagi output (santri) yang tidak dipersiapkan untuk menghadapi problematika modern, mereka cenderung mengambil jarak dengan proses perkembangan jaman yang serba cepat ini.

Pesantren dalam bentuk ini, hidup dan matinya sangat tergantung pada kebesaran kiainya, kalau di pesantren tersebut masih ada Kiai yang mumpuni dan dipandang mampu serta diterima oleh masyarakat, maka pesantren tersebut akan tetap eksis. Tetapi sebaliknya, jika pesantren tersebut sudah ditinggal oleh kiainya dan tidak ada pengganti yang mampu melanjutkan, maka berangsur-angsur akan ditinggalkan oleh santrinya. Oleh karena itu, inovasi dalam penataan kurikulum perlu direalisasikan, yaitu merancang kurikulum yang mengacu pada tuntutan masyarakat sekarang dengan tidak meninggalkan karakteristik pesantren yang ada sebab kalau tidak, besar kemungkinan pesantren tersebut akan semakin ditinggalkan oleh para santrinya.

Dalam bentuk kedua, pesantren yang telah mengadopsi kurikulum dan lembaga sekolah, hubungan ideal antara keduanya perlu dikembangkan. Kesadaran dalam mengembangkan bentuk kedua ini, tampaknya mulai tumbuh di kalangan umat Islam. Namun dalam kondisi riil, keberadaan pesantren yang telah mengadopsi kurikulum sekolah (madrasah), ternyata belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Di sana-sini masih banyak terlihat kendala yang dihadapinya sehingga hasilnya pun belum pada taraf memuaskan. Oleh karena itu, upaya untuk merumuskan kembali lembaga yang bercirikan pesantren yang mampu untuk memproduk siswa (santri) yang benar-benar mempunyai kemampuan profesional serta berakhlak mulia senantiasa perlu dilakukan terus-menerus secara berkesinambungan.

Dengan kesadaran ini dapat diyakini bahwa integritas pendidikan sekolah ke dalam lingkungan pendidikan pesantren, sebagaimana tampak dewasa ini, merupakan kecenderungan positif yang diharapkan bisa menepis beberapa kelemahan masing-masing. Bagi pendidikan pesantren, integrasi semacam itu merupakan peluang yang sangat strategis untuk mengembangkan tujuan pendidikan secara lebih aktual dan kontekstual.

Pondok Pesantren ” Harus Bisa ” Kembangkan Pendidikan Berbasis Teknologi,

Direktur Eksekutif Reform Institut, Yudi Latif menilai kemandirian pesantren sebagai pusat pendidikan Islam berbasis kemandirian ekonomi, semakin goyah seiring lemahnya dukungan internal lingkungan pondok pesantren, yang menjadi harapan dalam pengembangan sistem pendidikan.

"Daya kemandirian pesantren sudah goyah, seiring lemahnya dukungan ekonomi dari kekuatan santri pedagang yang umumnya membantu kelangsungan hidup pondok pesantren, " kata Yudi Latif usai peluncuran buku pendidikan Islam di Asia Tenggara dan Asia selatan, di Gedung JMC Jakarta, Selasa(25/04).

Menurutnya, untuk mengatasi masalah internal, pondok pesantren saat ini memiliki kecenderungan merubah paradigma, dari sistem kurikulum pendidikan murni menjadi sentra produksi. Hal ini, sejalan dengan menurunnya aktualisasi para santri lulusan pesantren, di mana ruang gerak mereka terbatas untuk dijadikan rujukan satu isu.

Dalam kesempatan lain beliau menyesalkan banyak peantren yang telah kehilangan peran dalam tatanan masyarakat sosial. "Dulu pesantren sangat mandiri dan independen, dikatakan independen karena mereka menguasai alat produksi yang mereka miliki, karena punya kekayaan itu mereka mandiri, dan tidak bergantung pada pemerintah, " tandasnya.

Lebih lanjut Yudi Latif mengatakan, potensi pesantren sebagai sarana konstruktif untuk menangani konflik yang terjadi pada masyarakat dapat dihidupkan kembali dengan inovasi baru, yang memperlihatkan fungsi independen dalam menangani konflik.

"Pesantren harus mempunyai peran strategis di tengah masyarakat, bisa diberdayakan sebagai penafsir budaya yang diperkuat dengan daya analisis sosiologi, tidak hanya agama. Misalnya pesantren berperan di garda terdepan sebagai upaya menciptakan kondisi yang baik, dan juga membela kaum tertindas seperti pada korban lumpur Lapindo, " jelasnya. ( Juga harusnya lebih banyak peran lagi yang diambil oleh pesantren)

Ia menegaskan, dalam rangka mengembalikan kualitas pola pembelajaran pesantren, sebaiknya pondok pesantren harus bisa menekankan pendidikan berbasis teknologi, dibandingkan pendidikan yang hanya berbasis hafalan, serta melibatkan para pengajar yang berkompeten dibidang agama juga harus mahir dibidang teknologi.

"Saat ini, kemunculan pendidikan pesantren berbasis teknologi, perlahan sudah mulai dilakukan oleh para pengasuh pondok pesantren. Namun, jumlahnya belum banyak, ' jelasnya.

Lebih lanjut ia menambahkan, perubahan cara pandang pesantren tanpa menghapus semangat keIslaman, akan berdampak positif untuk kemajuan pendidikan Islam di masa mendatang.

Ingin Maju, Pesantren Jangan Cuma Andalkan Figur Pengasuhnya

Lembaga pendidikan keagamaan seperti pesantren ataupun madrasah sebaiknya dapat berorientasi pada sistem yang baik, sebab apabila hanya mengandalkan kepada figur pengelola, maka lembaga itu sangat bergantung kepada pengelolanya. Hal tersebut dikatakan Mantan Menteri Agama yang juga Penasihat Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdhatul Ulama Tolchah Hasan, di Jakarta.

"Ada pesantren yang popular pencetak tokoh dalam keadaan kolaps, tapi ada yang baru sudah maju karena menerapkan sistem yang baik, ujarnya.

Menurutnya, dengan sistem yang baik termasuk dalam mengatur lembaga pendidikan, maka lembaga itu akan mampu bersaing dengan yang lain, karena yang mengelolanya berpedoman kepada sistem yang diterapkan.

Mencermati lembaga pendidikan di lingkungan Nahdlatul Ulama, Ia merasa prihatin, karena pada umumnya masih mengandalan pada figur pengasuhnya.

"Maju mundurnya pondok pesantren lebih ditentukan figur bukan sistem, sampai pada saat peralihan sistem pesantren ke sekolahan, andalan di NU tetap pada figur, "tukasnya.

Ia menambahkan, Saat ini ada 17 ribu pondok pesantren, tetapi kebanyakan dari perkerbangannya masih tergantung kepada pengasuhnya, dan saat ini berdasarkan survei yang dilakukan pad a38 pesantren, dalam kurun 5 tahun ini mengalami penurunan jumlah santri akibat adanya pergantian pengasuh.

Meski demikian, lanjutnya, ada juga pesantren luar jawa yang menerapkan sistem serta berupaya mengembangkan SMK berbasis pesantren, seperti di Pekanbaru 5 tahun lalu, mengembangkan aliyah dan teknologi. Sehingga tamatannya dapat masuk di berbagai perguruan tinggi bergengsi seperti ITS, dan ITB.

'Bantuan Asing untuk Pesantren Jangan untuk Tekan Lembaga Islam'

Bantuan asing kepada dunia pesantren tidak boleh mengikat dan merubah kurikulum. Sebab, pesantren adalah lembaga pendidikan independen yang punya kewenangan dan kemandirian sendiri dalam pengelolaannya. Demikian anggota Komisi VIII FPKS DPR RI DH. Al-Yusni, di Jakarta, Rabu (29/3) menanggapi sejumlah bantuan asing dalam bentuk dana, kerjasama, maupun pembangunan fisik pesantren.

Beberapa waktu yang lalu sebuah lembaga Non-Government Organization (NGO) asal Jepang menawarkan program kerjasama di bidang sains kepada sejumlah pesantren dengan syarat kurikulum keagamaan dikurangi, dan digantikan dengan kurikulum sains. Konon, Perdana Menteri Inggris Tony Blair juga tengah berkunjung ke sejumlah pesantren untuk melakukan kerjasama.

Ia berharap paket bantuan dan kerjasama itu bukan menjadi pintu masuk bagi pihak asing untuk mengawasi pesantren.”Untuk meningkatkan lembaga pendidikan ini jangan sampai digunakan untuk mencurigai lembaga pesantren. Karena pesantren itu lembaga yang mengajarkan moralitas, bukan kekerasan atau terorisme seperti yang selama ini dituduhkan mereka,” tegasnya.

Ia menyatakan, “Bagi kita memajukan dunia pesantren itu positif, apakah itu dalam bentuk dana, sarana fisik atau kerjasama. Tapi, pesantren itu punya otoritas sendiri. Jadi pesantren itu punya kewenangan sendiri. Kita ingin kerjasama itu tanpa syarat. Kalau ada unsur menekan kepada pesantren maka harus kita tolak."

Menurutnya, selama ini dunia pesantren bisa hidup dan menjalankan aktivitas secara mandiri tanpa bantuan dari pihak luar. “Tanpa bantuanpun pesantren bisa jalan. Karena itu dalam pola kerjasama ini tidak boleh ada barter kurikulum,” tegasnya.

“Yang namanya kerjasama silahkan, asal tidak menganggu kinerja dan kurikulum pesantren. Tapi kita juga berpandangan posistif dengan kunjungan dan kerjasama dari asing itu kepada pesantren. Ini artinya pesantren adalah lembaga yang istimewa. Karena pesantren dapat melahirkan tokoh-tokoh nasional dan menjadi penjaga moral,” katanya.

(Mu'tashim Billah, dari banyak sumber)

» Read More...